Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat untuk menunda Pemilihan Umum (Pemilu)

Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat No. 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst untuk menunda Pemilihan Umum (Pemilu) berimplikasi signifikan terhadap jadwal pelaksanaan Pemilu yang telah ditetapkan KPU.

Advokat-Mediator-Kurator Eva N. Christianty, S.H., M.H, CPL dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (4/3/2023) mengatakan bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut merupakan suatu kekeliruan karena menyangkut sengketa antar pihak yang seharusnya tidak mempengaruhi kepentingan yang lebih luas seperti pelaksanaan pemilu.

Eva menyatakan pada Sabtu (4/3/2023) bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (No. 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt) terkait sengketa antara pihak prima dan KPU merupakan sengketa contentiosa. Artinya, putusan yang dijatuhkan oleh hakim hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak berdampak luas, termasuk terhadap penyelenggaraan pemilu.

Meskipun merupakan prinsip dasar untuk menghormati setiap keputusan pengadilan, mungkin ada kasus-kasus di mana keputusan tertentu tidak dapat diterima atau diakui secara hukum, terutama ketika mempertimbangkan implikasi hukum dari keputusan tersebut.

Menurut Eva, putusan Pengadilan Negeri Jakarta tidak sesuai dengan prosedur hukum. UU Pemilu menyatakan bahwa sengketa terkait pemilu berada di bawah yurisdiksi PTUN, dan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 04 K/PDT.PEN/2009 menjelaskan bahwa PN tidak dapat mengadili dan menguji putusan MK tentang hasil pemilu. Oleh karena itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melampaui kewenangannya dengan mengambil keputusan di luar yurisdiksinya.

Eva menjelaskan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan putusan perkara tersebut dapat dieksekusi dengan serta merta (uitvoerbaar bivoorraad).

Keputusan yang dibuat dalam situasi ini didasarkan pada Pasal 180 HIR dalam gugatan perdata. Mahkamah Agung telah memberikan pedoman dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 tahun 2000, yang menyatakan bahwa putusan serta merta dibuat dalam kasus-kasus yang melibatkan utang, sewa-menyewa, pembagian harta, atau sengketa properti. Namun, permintaan untuk menunda pemilihan tidak sesuai untuk putusan serta merta dan tidak dapat dikabulkan oleh hakim.

Jika KPU tidak setuju dengan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta, mereka dapat mengambil tindakan hukum untuk membatalkan dan mencabut keputusan tersebut.

Eva memberikan informasi mengenai proses hukum untuk membatalkan sebuah keputusan, dengan menyatakan bahwa hal tersebut harus melalui tingkat pengadilan yang lebih tinggi seperti Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Ia juga menyebutkan sedang menunggu tanggapan dari KPU.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top